Sang surya kini telah menampakkan jati dirinya, semua 0rang mulai berlalu lalang menyusuri
jalanan kota untuk mengais rezeki. Namun pandanganku tertuju pada Sosok gadis
mungil yang berjalan menyusuri gang sempit yang begitu kumuh, membawa banyak
barang yang tidak seharusnya ia bawa. Aku tertegung melihatnya, hatiku bergejolak melihat sosok
gadis mungil itu. Tuhan inikah potret negeriku yang indah ini? Aku pun keluar
dari rumah lalu menghampiri gadis itu.
“lho dek enggak
sekolah?” tanyaku penuh selidik.
“engga mba,
ga ada biaya buat sekolah” jawab gadis itu dengan wajah tertunduk lesu.
“nama adek siapa?” aku semakin penasaran dengan
gadis itu.
“Aku zahra mba, mba mau beli ini? Sambil menyodorkan
apa yang dia jual.
“iya dek, Aku ambil 10 ya, oh iya rumah adek mana?”
“rumah Aku di ujung jalan ini mba, kalo mau mbak boleh
main, tapi rumahku kecil mbak” matanya berkaca-kaca.
“iya dek kapan-kapan aja, dek besok kalo jualan
kesini lagi mampir ke rumahku ya, kalo Aku ga ketemu adek, itu rumahku yang
warna biru, adek masuk aja, soalnya ibuku suka sama kue-kue gini. Bilang aja
kalo disuruh Mba Sakina”
“iya mba, besok Aku bawa lagi
yang banyak, ini mbak kembaliannya”.
“ga usah dek, ambil aja buat
tambah-tambah bantu keluarga”.
“terima kasih banyak mba” wajahnya tiba-tiba berubah penuh senyum.
Akupun berjalan kearah rumah, dengan
mata berkaca-kaca, melihat kenyataan bahwa masih banyak anak-anak yang belum
bisa mengenyam bangku pendidikan. Aku telah sampai di ujung gerbang rumahku,
Aku melihat Ibu berdiri menyiram bunga di taman, Aku segera menyeka air mataku
yang telah meleleh.
“Assalmu’alaikum bu”.
“wa’alaikum salam, lho dari mana
dek?, kog pagi-pagi udah keluar, kirain tadi masih dikamar”.
“ini bu, tadi ga sengaja liat ada
anak kecil yang jualan kue ini, trus Aku pengen beli, ibu kan suka juga sama
kue ini, hehe”.
“ya udah, bawa masuk aja dek,
kamu juga cepet mandi, katanya mau ikut bapakmu”
“inggih bu” Lalu Aku bergegas
masuk kedalam rumah, meninggalkan Ibu yang sedang menyiram bunga, Aku melihat
jam dan telah menunjukkan pukul 8, Aku baru ingat bahwa pesawat Masku akan tiba
di bandara pukul 9 pagi, sedangkan perjalanan menuju bandara menghabiskan waktu
30 menit, Aku segera bergegas.
“Sakina, udah siap belum?” tanya
Bapak dari depan pintu kamar.
“iya pak, ini baru mau mandi,
hehehe” Akupun berlari menuju kamar mandi,namun pikiranku masih memikirkan
gadis mungil tadi, ingin Aku bicara dengan kedua orang tuaku tapi Aku belum
berani. Tiba-tiba lamunanku berhenti setelah mendengar teriakan Ibu.
“Dek, cepet, udah ditunggu Bapak,
kamu juga belum sarapan, ayo cepet”.
“iya bu, ini udah selesai kok”.
Aku buru-buru kekamar, mengambil tas dan berlari menuju mobil.
“Dek, makan dulu” seru Ibu
“Iya bu, ini udah bawa kue tadi,
nanti dimakan dalam mobil, Assalamu’alaikum bu”
“Wa’alaikum Salam, hati-hati
pak”.
|
Di saat perjalanan HPku berdering, nada whatsapp yang sudah sering Aku dengar, ternyata dari Mas Raka.
"Dek, dimana?"
"Iya
mas, ini udah di perjalanan, 15menit lagi, sampai"
|
“Pak,
Mas Raka udah sampai”.
“lho
kok tumben cepet Dek” sambil memfokuskan pandangan di jalan, sesekali melihat
jam tangan.
...
Di
bandara, Mas Raka hanya duduk dan memandangi sekeliling, mungkin dia merasa
lelah. Dia hanya menyandarkan tubuhnya didinding bandara, semua kursi terlihat
penuh.
Aku
dan Bapakku mulai kebingungan mencari Mas Raka, karena bandara hari itu
berbeda, dari biasanya, begitu penuh dengan orang-orang berlalu lalang, padahal
hari libur juga masih jauh tapi entahlah. Setelah beberapa saat mencari,
akhirnya Aku melihat sosok pemuda yang sedang menatap layar handphonnya, ternyata
benar Dia adalah kakakku, yang sudah hampir 1 tahun menimba ilmu di Singapura.
Dia terlihat semakin tinggi, begitu berbeda saat pertama pergi ke sana.
“Pak,
itu Mas Raka kan?”
“mana
toh Dik?oh itu ya, iya itu masmu”
“Mas”
Aku berlari kearahnya sambil melambaikan tangan, Bapakku mengikutinya.
“kirain
belum sampe tadi pak” lalu Mas Raka mencium tangan Bapak.
“ini
Adekku toh, aduh tambah cantik aja, gimana ujiannya kemarin Dek? Sukses gak?”
mungkin Mas Raka akan melanjutkaan seribu pertanyaan yang ditujukan padaku,
tapi Bapakku sudah menghentikan dengan ucapan yang selalu Beliau pakai
“sudah,
nanti saja kalo udah di rumah, sudah ditunggu Ibu”. Kamipun bergegas menuju
mobil.
...
Dirumah
ibu sedang menyiapakn banyak sekali makanan untuk menyambut kedatangan Mas
Raka.
“Assalamu’alaikum”
teriakku dan Mas Raka dari luar pintu rumah.
Ibu
bergegas menuju pintu “Wa’alaikum salam, eh udah pulang, ayo cepet masuk, Bapak
mana?”
“Bapak
tadi terima telfon bu” jawab Mas Raka.
“ya
udah mas, istirahat aja dulu, pasti kamu capek kan”
“Iya
bu” Mas Raka pun menuju kamar.
“Bu,
masak apa toh? Tanyaku sambil menuju dapur.
“iki
loh, kesukaane masmu dek, sini bantu ibu, biar cepet selesai”.
“iya
bu”.
Akhirnya
semua makanan sudah tersaji di meja makan, kini waktunya memanggil Bapak dan
Mas Raka, untuk makan siang.
“Bapak,
makan dulu”.
“iya
dek, sebentar”.
“Mas
Raka, makan yuk”.
“iya
dek”.
Namun
pikiranku kembali menuju gadis penjual kue yang Aku temui tadi pagi, dalam
hatiku bertanya-tanya, apakah dia bisa makan siang seperti ini? Apakah dia
masih berkeliling menjajakan kuenya itu?. Lamunanku berakhir ketika Mas Raka
sudah dismpingku dan menegurku.
“hayo
ngalamun terus, mikir apa? Pasti mikir cowok”.
“ih
apa sih mas, enggak deh”.
“enggak
bener, mas laporin ke Bapak loh ya, hahaha”.
“laporin
aja, wong Aku juga enggak mikirin cowok, udah ah ayo turun, udah ditunggu Bapak
sama Ibu”.
“Mas
Raka, Dek Sakina cepet turun, jangan ngobrol terus” kata ibu dari bawah.
...
Jam telah menunjukkan pukul 11
malam, hujan, angin, serta guntur kian menjadi-jadi. Aku masih belum bisa tidur
membayangkan gadis penjual kue tadi pagi, apakah keluarganya baik-baik saja?
Apakah mereka bisa berteduh, saat hujan seperti ini? Tuhan bantulah mereka.
Akhirnya Aku memutuskan untuk menelfon Mas
Raka, kemungkinan besar dia juga belum tidur. 1 kali 2 kali tidak ada jawaban,
akhirnya Mas Raka menjawab telfonku.
“ada apa dek? Jam segini belum
tidur?”.
“mas belum tidur kan? mas bisa
kesini? Aku mau cerita banyak sama mas”.
“ya udah bentar”.
“dek” sambil mengetuk pintu kamarku,
suaranya halus sekali hampir tak terdengar, mungkin agar Bapak dan Ibu tidak
terbangun.
“masuk aja mas” balasku.
“ada apa toh dek? Udah malem belum
tidur. Mau cerita apa sama Aku?”.
“mas tau rumah-rumah di ujung jalan
gang sempit di samping rumah kita ini?”.
“tau dek, tapi ga begitu jelas, dulu
pernah pas masih SMP jalan-jalan kesana sama temen-temenku tapi mungkin
sekarang udah lupa. Emang ada apa?”.
“gini mas, tadi pagi Aku kan keluar
rumah, terus Aku ngeliat gadis kecil jualan kue namanya kalo enggak salah tuh
Zahra, kasihan banget mas Dia, Dia enggak sekolah, tiap hari Dia harus jualan
kue bantu ibunya, kasian banget mas, kalo liat dia. Sampe sekarang Aku masih kepiran
Dia, dan akhirnya Aku enggak bisa tidur, kasihan mas enggak tega liatnya” aku
menceritakan gadis itu dengan air mata yang terus mengalir, raut wajah Mas Raka
juga telah berubah, penuh rasa iba.
“Lha bapaknya kemana? Masak anak
kecil disuruh jualan gitu? Dia sering jualan di sini ya?”
“kalo itu Aku lupa tanya mas, Aku
baru liat kemarin aja mas, tapi tadi Aku nyuruh buat jualan disini lagi. Mas
kok belum tidur kenapa?”
“enggak tau dek, mungkin udah lama
ga tidur dirumah jadi butuh waktu lama biar bisa tidur, ya udah kamu tidur dulu
aja”.
“iya mas”.
...
Jam masih menunjukkan pukul 02.00
dini hari, rumah yang hanya beratapkan kepangan jerami tanpa pelataran itu
tiba-tiba terdengar jeritan keras.
“ibuuuu” terdengara dari mulut kecil
Zahra namun matanya masih tetep terlelap.
Suara itu membuat ibu Zahra bangun dan bergeges
menghampiri Zahra “Zahra, Astagfirullah nak badan kamu kenapa panas sekali? Ya
Allah. Anak-anak cepat bangun bangun. Adit bawain ibu air sama kain, Zahra
bangun nak.”
Dengan mata yang masih terasa berat, Adit menuju
dapur mengambil air dan kain. “ini bu” sambil menyerahkan barang yang di minta
ibunya.
“Mba Zahra kenapa bu?” tanya adik Zahra yang paling
kecil.
Tangis ibu semakin pecah.
Tiba-tiba mata Zahra terbuka dan berkata “bu, Zahra
minta maaf, Zahra gak bisa bantu ibu lagi. Dan tolong sampaiin maaf Zahra ke Mba
Sakina yang rumahnya di luar gang ini, pagi ini Zahra gak bisa nganter kue
kesana.”
“nak kamu ngomong apa?” tangis ibu Zahra semakin
menjadi-jadi.
“Laailaaa....haa...illlallah...........” dan mata
Zahra sudah tertutup untuk selamanya.
***
Pagi ini setelah sarapan Aku dan Mas
Raka siap untuk menyusuri gang kecil itu, sampah banyak di sepanjang jalan. Aku
sedikit kaget. Banyak pertanyaan yang muncil di otakku. Inikah tempat anak itu
tinggal? Kumuh sekali? Bagaimana dia bisa bertahan di tempat seperti ini?.
“kamu serius dek disini tempatnya?”
tiba-tiba Mas Raka memecah keheningan.
“mas lebih baik kita tanya ibu-ibu
disana aja” jawabku kepada Mas Raka.
“Assalumu’alaikum bu, apakah di
sekitar sini ada anak kecil yang bernama Zahra
“ tanya Mas Raka kepada ibu-ibu itu.
“ tanya Mas Raka kepada ibu-ibu itu.
“Wa’alaikum salam, mas ini siapanya
ya?” jawab salah satu ibu itu.
“Kami kemarin pesen kue dari dia,
tapi sampai sekarang belum diantar, jadi kami mau ambil disini bu.” Jawabku
kepada ibu itu.
“Nak Zahra sudah tidak ada” jawab
ibu yang lain.
“maksud ibu gak ada gimana? Gak
tinggal disini?” jawabku.
“Zahra sudah kembali kepada Allah
nak.” Jawab ibu yang lainnya.
“innalillahi wa inna ilaihi rojiun
kapan meninggalnya bu? Zahra sakit apa?” tanyaku masih tak percaya.
“tadi malem dek, gak sakit, katanya
Cuma panas aja, terus meninggal” Jawab ibu itu.
“Pemakamannya kapan bu? Dan rumahnya
yang mana? Tanya Mas Raka.
“sudah dimakamkan tadi pagi mas,
kalo mas mau dateng kerumahnya mas lurus aja dari sini, rumahnya di belakang
masjid di ujung jalan ini”.
“makasih bu, permisi kami mau kesana
dulu”. Pamit Mas Raka.
Aku masih diam, mataku telah mengeluarkan air mata,
Mas Raka mencoba menenangkanku. Setelah beberapa menit kami berjalan akhirnya
kami menemukan rumah itu. Rumah yang
tidak layak huni, besarnya tidak lebih dari seperempat dari rumahku. Tuhan
inikah cobaan hidup? Namun Aku terlambat Aku melihat sosok wanita yang duduk
terdiam dengan pandangan kosong, mungkin itu ibunya. Aku dan Mas Raka mendekat
dengan ibu itu.
“maaf apakah ibu ini ibunya Zahra?” tanya Mas Raka
dengan hati-hati agar tidak menyakiti perasaan beliau.
“kalian siapa?” tanya ibu itu.
“saya Sakina bu, teman Zahra” jawabku.
“kamu nak yang namanya Sakinya, tadi malah sebelum
pergi Zahra minta maaf sama kamu, katanya gak bisa nganter kue ke rumah kamu
nak. Maafkan Zahra ya nak, biar dia bisa bahagia” tangis ibu itu semakin keras,
ibu-ibu yang lain mencoba menengkannya.
Aku terdiam, tanpa bisa berkata apapun, hanya air
mata yang semakin banyak keluar dari mataku ini. Namun aku tetap mencoba untuk
tegar, agar ibu itu semakin tenang. “iya bu tak apa, dia sudah kembali, aku
juga udah memaafkannya, aku yakin gadis baik hati seperti dia pasti akan
bahagia di alamya”.
Sebelum Aku dan Mas Raka kembali kerumah, Kami
berdua berziarah kemakam Zahra. Kekurangan dan keserhanaanmu telah mengajariku
arti hidup yang sebenarnya, kau selalu mengingatkanku akan bersyukur itu perlu,
walaupun Aku mengenalmu hanya dengan hitungan detik, namun kebaikannmu akan
selalu kuingat sepanjang waktu. Selamat tinggal gadis kecil penjual kue, kau
pasti bahagia di alam sana.
0 komentar:
Posting Komentar